BATU PUN: ARKEOLOGI DAN MITOS DAYAK LUNDAYEH DI LEMBAH KURID DI KRAYAN, NUNUKAN

Main Article Content

Ulce Oktrivia
Imam Hindarto
Rochtri Agung Bawono
Eko Herwanto

Abstract

Tradisi megalitik di kawasan Krayan telah berkembang seiring dengan perubahan zaman. Salah satunya adalah Batu Pun yang berada di lembah Kurid, di Nunukan. Tampaknya masyarakat Lundayeh yang bermukim di lembah Kurid belum memahami sepenuhnya arti keberadaan situs megalitik. Menurut mereka situs Batu Pun sudah ada jauh sebelum mereka memasuki kawasan ini. Pengetahuan umum yang diwariskan secara turun-menurun adalah mitos bahwa Batu Pun merupakan batu-batu megalitik yang terbentuk akibat mesab atau kutukan. Novelty dari penelitian ini adalah belum adanya kajian mitos yang berkaitan dengan tinggalan megalitik. Berdasarkan hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah memahami tinggalan megalitik di lembah Kurid dalam perspektif arkeologi dan mitologi. Pengumpulan data dilakukan dengan pembukaan test pit, kajian pustaka, dan studi etnografi dengan wawancara mendalam secara partisipatoris tentang Batu Pun. Analisis dilakukan dengan cara komparasi dengan temuan serupa di kawasan yang sama untuk memahami konteks budaya yang terkait dengan Batu Pun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Batu Pun merupakan salah satu tinggalan budaya megalitik perupun berupa struktur batu yang membukit dengan beberapa menhir di bagian atasnya. Pada konteks arkeologis dan etnohistoris, perupun difungsikan sebagai media kubur, dan tidak berkorelasi dengan mitos masyarakat Lundayeh tentang mesab ”menjadi batu.” Hal tersebut membuktikan bahwa rentang waktu yang memisahkan antara masa pembangunan Batu Pun dengan masa kehidupan msyarakat Lundayeh yang hidup sekarang di Lembah Kurid telah mempengaruhi pemaknaan Batu Pun. Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan gagasan tentang khazanah identitas budaya di kawasan perbatasan, serta menjadi salah satu bahan rujukan awal untuk kepurbakalaan di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Provinsi Kalimantan Utara.


The Lundayeh people believe that the megalithic of Batu Pun in the Kurid Valley was formed due to a mesab or a curse.. The novelty of this research is that no study of myths related to the megalithic of Batu Pun has been carried out. Based on this, the present research aims to understand the megalithic remains in the Kurid Valley from an archaeological and mythological perspective. Data collection was carried out by excavating a test pit, literature reviews, and an ethnographic study with participatory in-depth interviews about Batu Pun. The analysis was carried out by comparing similar findings in the area to understand the cultural context of Batu Pun. Research results show that Batu Pun is a perupun or grave that is formed as a mound-structure of stone with several menhirs on top. In archaeological and ethnohistorical contexts, the perupun does not correlate with the Lundayeh people's myth about mesab of petrification. This proves that the time that separates the construction period of Batu Pun and the present-day Lundayeh people who live in the Kurid Valley has influenced the transformation of the meaning of Batu Pun.

Article Details

How to Cite
Ulce Oktrivia, Imam Hindarto, Rochtri Agung Bawono, & Eko Herwanto. (2024). BATU PUN: ARKEOLOGI DAN MITOS DAYAK LUNDAYEH DI LEMBAH KURID DI KRAYAN, NUNUKAN. Naditira Widya, 17(2), 119–132. Retrieved from https://ejournal.brin.go.id/nw/article/view/5625
Section
Articles

References

Arifin, Karina. 1999. “Penelitian Etnoarkeologi terhadap Praktek Penguburan dan Tipe Monumennya di Kayan Mentarang.” Hlm. 437–64 dalam Kebudayaan dan Pelestaraian Alam: Penelitian Interdispliner Di Pedalaman Kalimantan, disunting oleh Christina Eghenter dan Bernard Sellato. Jakarta: World Wide Fund Indonesia.

Arifin, Karina, dan Bernard Sellato. 1999. “Survei dan Penyelidikan Arkeologi di Empat Kecamatan di Pedalaman Kalimantan Timur (Long Pujungan, Kerayan, Malinau, dan Kayan Hulu.” Hlm. 397–439 dalam Kebudayaan dan Pelestaraian Alam: Penelitian Interdispliner Di Pedalaman Kalimantan, disunting oleh Christina Eghenter dan Bernard Sellato. Jakarta: World Wide Fund Indonesia.

Blust, Robert. 1981. “Linguistic Evidence for Some Early Austronesian Taboos.” American Anthropologist 83(2):285–319. doi: 10.1525/aa.1981.83.2.02a00020.

Desy, Winda Oktovina, Mursalim, dan Irma Surayya Hanum. 2020. “Nilai Budaya dalam Legenda Liang Ayah di Kalimantan Tengah: Kajian Folklor.” Ilmu Budaya: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni dan Budaya 4(1):13–20.

Juliastuty, Dewi. 2018. “Kutukan Menjadi Batu pada Lima Legenda di Indonesia.” Tuah Talino 12(1):25–36.

Munandar, Agus Aris. 2016. “Kisah-kisah dan Kepercayaan Rakyat di Seputar Kepurbakalaan.” Paradigma, Jurnal Kajian Budaya 2(1):1–20. doi: 10.17510/paradigma.v2i1.15.

Prasetyo, Bagyo. 2015. Megalitik, Fenomena yang Berkembang di Indonesia. Yogyakarta: Galangpress.

Prasetyo, Bagyo. 2016. “Peninggalan Megalitik di Wilayah Perbatasan Kalimantan: Kontak Budaya Antara Kepulauan Indonesia dan Serawak.” KALPATARU 25(2):75. doi: 10.24832/kpt.v25i2.98.

Schneeberger, Werner F. 1945. “The Kerayan-Kalabit Highland of Central Northeast Borneo.” Geographical Review 35(4):544. doi: 10.2307/210795.

Sellato, Bernard. 2009. “Social Organization, Settlement Patterns, and Ethnolinguistic Processes of Group Formation: The Kenyah and Putuk in East Kalimantan." Hlm. 11–56 dalam Language in Borneo Diachronic and Synchronic Perspective, disunting oleh P.W. Martin dan P.G. Sercombe. Kuching: Borneo Research Council.

Sellato, Bernard. 2016. “The Ngorek of the Central Highlands and Megalithic Activity in Borneo.” Hlm. 117–50 dalam Mégalithismes vivants et passés: approches croisées, disunting oleh J. Christian, P. Le Roux, dan B. Boulestin. Oxford: Archaeopress Publishing LTD.

Sonjaya, Jajang A. 2008.