SUMPING PENANDA KESENIAN ARCA PADA MASA KADIRI – SINGHASARI
Main Article Content
Abstract
Peradaban masa Hindu-Buddha, berdasarkan tinggalan arkeologinya, merupakan puncak kebudayaan Indonesia. Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Singhasari menempati satu ruang kesejajaran sebagai masa-masa puncak kesenian di Jawa Timur, yang ditandai oleh tinggalan arkeologi berupa arca yang dipahatkan secara halus, indah, dan detail. Penggarapan arca mengikuti pakem ikonografi, khususnya pada laksana dan wahana. Walaupun begitu, kebebasan berekspresi si artis dalam penggarapan arca dapat dilihat pada penggambaran perhiasannya, salah satunya adalah sumping. Oleh karena itu, melalui sumping dapat dirunut identitas kesenian pada masa Kadiri-Singhasari, khususnya tipo-morfologi, fungsi, dan makna sumping. Penelitian tentang sumping pada masa Hindu-Buddha sangat jarang dikemukakan secara mendalam. Penelitian ini bersifat kualitatif, tetapi menggunakan analisis kuantitatif dalam bentuk tabulasi dan klasifikasi khusus berdasarkan data yang telah dikumpulkan melalui observasi dan kajian pustaka. Teori mimesis dan kreativitas digunakan untuk mengkaji perkembangan tipo-morfologi sumping pada masa Kadiri-Singhasari. Penggunaan karya sastra sezaman merupakan hal yang penting sebagai pembanding untuk memahami pemaknaan sumping, baik secara profan maupun sakral. Hasil penelitian menunjukkan sumping pada masa Kadiri-Singhasari dibagi menjadi empat tipe, yaitu A, B1, B2, dan C. Tipe B2 dan tipe C merupakan pengembangan yang terjadi pada masa Singhasari. Sumping pada arca menunjukkan fungsinya sebagai hiasan telinga dan media peribadatan. Penggunaan sumping merupakan simbol religio-magis dari pengultusan bunga dalam agama Hindu dan Buddha.
The Hindu-Buddhist civilization, based on its archaeological remains, is the pinnacle of Indonesian culture. The kingdoms of Kadiri and the Singhasari had simultaneously hit their artistic peak in East Java, which was marked by finely beautiful, sculpted, and detailed statues. Sculpting a statue during the classical period in Indonesia followed Hindu-Buddhist iconography standards, especially regarding ‘laksana’ (attributes) and ‘wahana’ (rides). Even so, the artist’s freedom of expression in sculpting a statue was depicted by the adornments of the statue, one of which is the sumping. Therefore, through sumping, the identity of the arts with regard to typo-morphology, function, and meaning of sumping, during the Kadiri-Singhasari period can be traced. In-depth research on sumping from the Hindu-Buddhist period has rarely been done. This is qualitative research but uses quantitative analysis in the form of tabulations and special classifications, based on data collected through observation and literature review. The theories of mimesis and creativity were used to study the development of the typo-morphology of sumping during the Kadiri-Singhasari period. The use of contemporary literary works was important as a comparison to understand the significance of sumping, whether profane or sacred. The results showed that during the Kadiri-Singhasari period sumping was divided into four types, i.e. A, B1, B2, and C. Types B2 and C were developments that occurred during the Singhasari period. Sumping showed its function both as ear adornment and a means of worship. The use of sumping is a religious-magical symbol of glorifying flowers in Hinduism and Buddhism
Article Details
References
Ayatrohaédi. 1981. “Kamus Istilah Arkeologi I.” Jakarta: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Bawono, Rochtri Agung, dan Zuraidah. 2016. “Ragam Seni Hias Majapahit: Penciri Hasil Budaya Majapahit.” Seminar Nasional Seri Bahasa Sastra dan Budaya, 1–6.
Darma, I. Kadek Sudana Wira. 2019. “Pengarcaan Dewa Wisnu pada Masa Hindu-Buddha di Bali – Abad VII-XIV Masehi.” Forum Arkeologi 32(1):51–62. doi: http://dx.doi.org/10.24832/fa.v32i1.548.
Ekawati, Lisa. 2008. “Arca-arca dari Candi Tondowongso dan Candi Gurah, Kediri.” Berkala Arkeologi 28(2):36–51. doi: 10.30883/jba.v28i2.362.
Haefele, John W. 1962. “Creativity and Innovation.” London: Reinhold Publishing Corporation.
Jaya, Ida Bagus Sapta. 2015. “Kesejajaran Konsepsi Arca Perwujudan di Kamboja Asia Tenggara.” Pustaka Jurnal Ilmu-ilmu Budaya, 15(1):39–51.
Kempers, A. J. Bernet. 1959. “Ancient Indonesian Art.” Massachusetts: Hardvard University Press.
Kluckhohn, Clyde, dan O. H. Mowrer. 1944. “Culture and Personality: a Conceptual Scheme.” American Anthropologist 46(1):1–29. doi: 10.1525/aa.1944.46.1.02a00020.
Koentjaraningrat. 1984. “Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.” Jakarta: PT. Gramedia.
Maulana, Ratnaesih. 1984. “Ikonografi Hindu.” Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Maulana, Ratnaesih. 1987. “Hiasan Arca pada Masa Hindu-Buddha di Jawa.” dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi II Estetika dalam Arkeologi Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Maulana, Ratnaesih. 1996. “Perkembangan Seni Arca di Indonesia.” Laporan Penelitian. Depok: Universitas Indonesia.
Maulana, Ratnaesih. 1997. “Gambaran Umum Ikonografi Siwa di India dan Sumber-sumber Tertulis.” Laporan Penelitian. Jakarta: Universitas Indonesia.
Munandar, Agus Aris. 1990. “Kegiatan Keagamaan di Pawitra: Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14-15 M.” Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Panjaitan, Indra Purnawan, dan M. Manugeren. 2019. “Symbolic Meanings of Kembar Mayang in Javanese Wedding Ceremony at Desa Medan
Sinembar Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang.” Journal of Language 1(1):1–10. doi: https://doi.org/10.30743/jol.v1i1.1123.
Pasla, Vincent D., dan Alvin J. Tinangon. 2016. “Arsitektur Mimesis.” Media Matrasain 13(1):47–55.
Prasidi, Nanang Dwi. 1995. “Hiasan Badan pada Arca Batu Masa Singhasari dan Majapahit Koleksi Museum Nasional Jakarta – Kajian Ikonografi.” Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.
Rahmat, Pupu Saeful. 2009. “Penelitian Kualitatif.” Equilibrium 5(9):1–8.
Redig, I. Wayan. 2017. “Pengarcaan Pratima Dewa-Dewa Hindu di Bali: Kesinambungan Tradisi Pengarcaan Jaman Indonesia Hindu.” Prosiding Seminar Nasional Sastra dan Budaya II, 278–85.
Riana, I. Ketut. 2009. “Kakawin Dēśa Warnnana uthawi Nāgara Krtagama – Masa Keemasan Majapahit.” Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Rouse, Irving. 1960. “Society for American Archaeology.” American Antiquity 25(3): 313–23. doi: 10.1017/s0002731600093963.
Santiko, Hariani. 2020. “Kehidupan Beragama Raja Kertanagara.” Kalpataru Majalah Arkeologi 29(1): 29–38. doi: https://doi.org/10.24832/kpt.v29i1.634.
Sedyawati, E. 1985. “Pengarcaan Ganeśa Masa Kadiri dan Siŋhasāri: Sebuah Tinjauan Kesenian.” Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Soekmono, R. 1998. “Gurah, The Link between the Central and the East-Javanese Arts.” Hal. 1–20 dalam Bulletin of the Archaeological Institute of the Republic of Indonesia No 6. Jakarta: Jajasan Purbakala.
Sukrawati, Ni Made. 2019. “Acara Agama Hindu.” diedit oleh I. W. Wahyudi. Denpasar: UNHI Press.
Surata, I. Ketut, I. Wayan Gata, dan I. Made Sudiana. 2015. “Studi Etnobotanik Tanaman Upacara Hindu Bali sebagai Upaya Pelestarian Kearifan Lokal.” Jurnal Kajian Bali 5(2):265–84.
Tim Penulisan Sejarah Nasional Indonesia. 2008. “Sejarah Nasional Indonesia II – Zaman Kuno.” diedit oleh M. D. Poesponegoro dan N. Notosusanto. Jakarta: Balai Pustaka.
Worsley, Peter, S. Soepomo, Margaret Fletcher, dan Thomas Hunter. 2014. “Kakawin Sumanasantaka: Mati Karena Bunga Sumanasa.” Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Wurjantoro, Edhie. 2018. “Anugerah Sri Maharaja—Kumpulan Alihaksara dan Alihbahasa Prasasti-Prasasti Jawa Kuna dari Abad VIII—XI.” Depok: Depatermen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Yuliah, Lukman Hakim, dan Yayan Hadiyan. 2018. “Nagasari (Mesua ferrea): Budidaya dan Potensinya sebagai Tanaman Obat.” Proceeding Biology Education Conference 25(1):808–12.
Zoetmulder, P. J. 1985. “Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.” Jakarta: Djambatan.
Zoetmulder, P. J., dan S. O. Robson. 1994. “Kamus Jawa Kuna Indonesia.” Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Jaya.