BANDAR SUKABUMI IN THE BEGINNING OF THE 19TH CENTURY: THE ROLE OF POLITICAL AUTHORITY IN THE DEVELOPMENT OF RIVER-CITY IN KOTAWARINGIN REGION, SOUTHWESTERN KALIMANTAN

Main Article Content

Moh Ali Fadillah

Abstract

Kotawaringin is the name of a small kingdom founded in the first half of the 17th century, centered in Kotawaringin Lama on the upper reaches of Sungai Lamandau, in southwestern Kalimantan. In the early 19th century the royal capital was moved to Pangkalan Bun. The shift of the capital city is an important factor in the history of human geography as a cause of changes in demography and urbanization. This research aimed to find clarity about the agglomeration of river cities in terms of symbolic and pragmatic aspects. Such aspects include the origin, existence, reasons for shifting capital and the type of culture that underlies the function of Kotawaringin as a center of government and trade that grew during the early colonial period. The research used methods which were carried out by observing sites indicated as capitals and ports, combining it with studies of historical sources, as well as collecting physical evidence, including a number of symbolic objects associated with royal legitimacy. Results of contextual analysis provide a set of knowledge about the growth of river city as the implementation of the spatial planning policy of the government and the support of urban communities rooted in Malay culture. The Kingdom of Kotawaringin reached a peak of progress during the reign of Prince Ratu Imanuddin, after the capital was moved to Pangkalan Bun from Kotawaringin Lama. The location of the new capital is on the lower reaches of the Sungai Lamandau, precisely on the banks of the Sungai Arut, which was formerly called Bandar Sukabumi.

Kotawaringin adalah nama sebuah kerajaan kecil yang didirikan pada paruh pertama abad ke-17 Masehi, berpusat di Kotawaringin Lama di kawasan hulu Sungai Lamandau, di barat daya Kalimantan. Pada awal abad ke-19 Masehi, ibukota kerajaan dipindahkan ke Pangkalan Bun. Pergeseran ibukota merupakan faktor penting dalam sejarah geografi manusia sebagai penyebab perubahan demografi dan urbanisasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejelasan tentang aglomerasi kota sungai ditinjau dari aspek simbolik dan pragmatis. Aspek-aspek tersebut mencakup asal usul, keberadaan, alasan perpindahan ibukota dan jenis budaya yang mendasari fungsi Kotawaringin sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan yang tumbuh pada masa kolonial awal. Penelitian ini menggunakan metode yang dilakukan dengan mengamati situs-situs yang diindikasikan sebagai ibukota dan pelabuhan, memadukannya dengan studi sumber-sumber sejarah, serta mengumpulkan bukti-bukti fisik, termasuk sejumlah benda simbolis yang terkait dengan legitimasi kerajaan. Hasil analisis kontekstual memberikan seperangkat pengetahuan tentang pertumbuhan kota sungai sebagai implementasi kebijakan perencanaan tata ruang pemerintah, dan dukungan masyarakat kota yang berakar pada budaya Melayu. Kerajaan Kotawaringin mencapai puncak kemajuan pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Imanuddin, setelah ibu kota dipindahkan ke Pangkalan Bun dari Kotawaringin Lama. Lokasi ibu kota baru berada di bagian hilir Sungai Lamandau, tepatnya di tepi Sungai Arut yang dahulu dinamai Bandar Sukabumi

Article Details

How to Cite
Moh Ali Fadillah. (2024). BANDAR SUKABUMI IN THE BEGINNING OF THE 19TH CENTURY: THE ROLE OF POLITICAL AUTHORITY IN THE DEVELOPMENT OF RIVER-CITY IN KOTAWARINGIN REGION, SOUTHWESTERN KALIMANTAN. Naditira Widya, 14(2), 121–136. Retrieved from https://ejournal.brin.go.id/nw/article/view/5654
Section
Articles

References

Atmojo, B. 2013. "Makam-makam dan candi di Negeri Baru dalam perkembangan Sejarah Budaya di Kabupaten Ketapang." Naditira Widya 7 (2): 106-116.

Behrend, T. 1989. “Kraton and Cosmos in Traditional Java.” Archipel 37: 137–185.

BPCB Kaltim. 2019. “Laporan Kegiatan Studi Teknis Astana Alnursari, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah.” Laporan Kegiatan Studi. Kalimantan Timur: Samarinda: Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur

Cense, A. A. 1928. De Kroniek van Bandjarmasin, Santpoort: C.A. Mees.

Chambert-Loir, H. 1989. “Etat, cité, commerce: le cas de Bima.” Archipel 37: 83–105.

Dijk, L. C. Van. 1962. Neerland’s: vorgeste betrekkingen met Borneo, Den solo-Archipel, Cambodja, Siam En Cochin-China. Amsterdam: J.H. Scheltema.

Ditlinbinjarah. 1980. Laporan Studi Kelayakan dan Pemugaran Keraton Kotawaringin, Pangkalan Bun, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ditlinbinjarah. 1984. Laporan Pemugaran Mesjid Kiai Gede, Kotawaringin Lama. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (Eerste dee).1896. Indonesia. s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Fadillah, M. A; Montana, Suwedi; Nurhakim, Lukman. 1990. "Laporan Penelitian Arkeologi di Kotawaringin Barat, Kalimantan." Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta: Puslit Arkenas.

Fadillah, M. A. 1996. Kotawaringin (Borneo) au XIX Siecle, Etude Archeo-historique sur l’Etat, les cites et le commerce [Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales].

Fadillah, M. A. 1998. Formasi Negeri Melayu di Kalimantan, Dinamika Ruang Budaya Masa Indonesia Islam. Pp.203-255 in T. Djubianton et al. (Ed.), Dinamika Budaya Asia Tenggara – Pasifik dalam Perjaanan Sejarah. IAAI Jawa Barat: Balai Arkeologi Bandung.

Fadillah, M. A. 2016. “Bandar Sukabumi pada abad XIX, Pusat Pemerintahan dan Perdagangan di Kesultanan Kotawaringin.” Makalah pada Festival Keraton Nusantara X, Pangkalan Bun (belum terbit).

Gais, W. O. 1922. The Early relation of England with Borneo to 1805. Bern: Druck von Hermann & Sohne (Beyer & Mann).

Guillot, C. 1995. “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-1682)”. Archipel 50 (Histoire d’une region): 83–118.

Guillot C., Nurhakim, L, Wibisono, S. Ch. 1994. Banten avant l’Islam, Etude archéologique de Banten Girang (Java - Indonésie) 932? -1526. Jakarta: EFEO-Puslit Arkenas.

Hindarto, I. 2017. “Tinjauan Kesejarahan Situs Candi Negeri Baru.” Kundungga 6: 50-60

Kratz, E. U. 1980. “Silsilah Raja-Raja Sambas as a Source of history.” Archipel 20: 255–267.

Kusmartono, V. P. R., & Suhadi, M. 1997. “Catatan Singkat tentang Candi Laras, Provinsi Kalimantan .” Naditira Widya 02: 75–78.

Logan, J. R. 1848. “Trace of the Origin of Malay Country of Borneo Proper.” Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia 02: 513–518.

Lombard, D. 1979. “Regard nouveau sur les ‘pirates malais’ Ière moitié de XIXe siècle.” Archipel 18: 231–250.

Lombard, D. 1984. “Guide Archipel IV: Pontianak et son arrièrre-pays.” Archipel 28: 77–97.

Mallinckrodt, J. 1925. Een en Ander over de Gebruiken aan het Kotawaringinsche Hof. Koloniaal Tiijdscrift, 14e jaargang. Batavia: Bookerij van het Koloniaal Instituut.

Manguin, P.-Y. 2000. “Les cités-États de l’Asie du Sud-Est côtière, De l’ancienneté et de la permanence des formes urbaines.” BEFEO 87 (1): 151-182.

Nasir, A. H. 1985. Pengenalan Rumah Tradisional Melayu Semenanjung Malaysia. Kuala Lumpur: Darul Fikir.

Pigeaud, T. G. T. 1963. Java in the 14th Century: A Study in Cultural History. Den Haag: Martinus Nijhoff.

Pijnappel Gzn, J. 1860. “Beschrijving van het Westelijke Gedeelte van de Zuid-en Ooster Afdeeling van Borneo.” Bataviaasch Genootschap van Kunsten En Wetenschappen 7: 243–346.

Ras, J. J. 1990. Hikayat Banjar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Rees, W. A. van. 1865. De Bandjermasinsche Krijgs van 1859-1863. Arnhem: D.A. Thieme.

Reid, A. 2011. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sofianto, K., and Pinem, M. 2015. Sejarah Kerajaan Kotawaringin“, paper on Seminar Sejarah Kesultanan Nusantara, Jakarta: Puslitbang Pendidkan Agama dan Keagamaan, Dept. Agama RI.

Sudibyo, Y. 1984. Mesjid Kiai Gede, Kotawaringin. Kamandalu 3: 23-24 & 27.

Sulistyanto, B. 2000. Umur Candi Laras dalam Panggung Sejarah Indonesia Kuno. Berita Penelitian Arkeologi 07: 1410–3443.

Usop et al., M. 1979. Monografi Daerah Kalimantan Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.