“Memasyarakatkan” Living Megalithic: Pesona Masa Lalu Yang Tetap Bergema

Main Article Content

Retno Handini

Abstract

“Socializing” Living Megalithic: The Charm of the Past that Still Exists. The living megalithic sites and cultures in Indonesia such as Nias, Toraja, Sumba, Sabu, Ngada, and Ende are exotic attractions both from scientific perspective and from the point of view of public attractions as cultural items. The scientific side requires academic explanation about their cultural processes since their initial emergence ± 2,500 years ago up to now. Meanwhile, “socializing” living megalithic culture is due to its charm as the “window to the past,” which is rarely the case with other types of archaeological remains. To see and enjoy living megalithic culture are spectacular from the point of view of cultural tourism, especially the process of building a megalithic structure using simple traditional techniques without modern technology. Such experience will enhance the value of cultural tourism. Therefore living megalithic traditions need to be socialized to the general public.


Situs dan budaya megalitik berlanjut (living megalithic) yang ada di Indonesia seperti Nias, Toraja, Sumba, Sabu, Ngada, dan Ende memiliki daya tarik eksotis, baik bagi ilmu pengetahuan maupun untuk dinikmati khalayak ramai sebagai sebuah tampilan budaya. Segi-segi ilmiah tetap menuntut penjelasan akademis tentang proses budaya sejak diperkirakan muncul sebelum Tarikh Masehi hingga mampu bertahan sampai saat ini, sementara “memasyarakatkan” budaya megalitik yang masih hidup merupakan sebuah pesona tersendiri, karena merupakan “window to the past”, yang jarang terjadi pada tinggalan arkeologis. Melihat dan menikmati budaya megalitik yang masih berlanjut adalah sebuah atraksi wisata budaya yang sangat luar biasa, apalagi ketika menyentuh tata cara pendirian bangunan megalitik dengan teknik-teknik sederhananya, saat teknologi modern tidak digunakan. Situasi seperti ini akan memberi nilai wisata budaya yang tinggi, dengan daya tarik tersendiri, sehingga living megalithic perlu dimasyarakatkan.

Article Details

How to Cite
Handini, R. (2023). “Memasyarakatkan” Living Megalithic: Pesona Masa Lalu Yang Tetap Bergema. KALPATARU, 21(1), 1–8. Retrieved from https://ejournal.brin.go.id/kalpataru/article/view/2578
Section
Articles

References

Handini, Retno. 2006. “Menhir in the Exoticism of Toraja, South Sulawesi: a Living Megalithic Tradition”, From Homo Erectus to The Living Traditions: 273-278. Bougon, France: EurASEAA 2006.

Handini, Retno. 2008. “Upacara Tarik Batu di Tana Toraja dan Sumba Barat: Refleksi Status Sosial dalam Tradisi Megalitik”. Pertemuan Ilmiah Arkeologi XI: 437-445. Jakarta. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Handini, Retno. 2009. “Pulling Stone Ceremony During Megalithic Stone Grave Construction in West Sumba”, Sharing Our Archaeological Heritage: 182-193. Johor Bahru, Malaysia.: Yayasan Warisan Johor.

Kana, Nico L. 1978. “Dunia Orang Sawu, Satu Lukisan Analisis Tentang Azas-Azas Penataan dalam Kebudayaan Orang Mahara di Sawu, Nusa Tenggara Timur”. Disertasi Jurusan Antropologi Budaya, Universitas Indonesia. Jakarta.

Soejono, R.P. (ed). 1984. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.

Wiradnyana, Ketut. 2008. “Proses pembuatan megalitik Nias sebagai bagian Sistem Upacara Owasa (Studi Kasus Proses Sebagai Sebuah Sistem Upacara Owasa di Situs Megalitik Orahili Fau)”, Sangkhakala No 21. Medan: Balai Arkeologi Medan.